Babi Putih di Areal Pekuburan
Hutan Seluma, Bengkulu, di tahun 1987. Pagi itu udara masih terasa dingin ketika rombongan pemburu dari Jakarta mulai memasuki perkampungan dekat hutan. Rintik gerimis terus membasahi kawasan yang banyak dihuni para transmigran tersebut. Selang beberapa menit kemudian, tiga orang berpakaian loreng ala militer turun dari mobil jip. Mereka menuju ke sebuah rumah yang berada di tepi jalan utama kawasan itu. Mereka adalah Kendrariadi, Max Siddharta (keduanya senior hunter dari Puma Group), dan Herman Doepke (warga Jerman yang ikut watching acara ini).
Pak Ahmad, lelaki tua si pemilik rumah tampak tergopoh-gopoh menyambut tamunya. Lelaki berkulit sawo matang ini adalah orang yang dituakan di daerah transmigrasi Seluma. Ia menguasai betul seluk beluk kawasan hutan Seluma, mulai dari lokasi yang rawan sampai yang banyak terdapat sarang babi hutan.
Karena itulah para pemburu menyempatkan sowan terlebih dulu, sebelum memulai perburuan. Apalagi Puma Group saat itu belum memiliki base camp sebagai tempat singgah para pemburu. “Untuk sementara, base camp kami di rumah Pak Ahmad ini,” Kendrariadi mengisahkan kenangan berburunya itu.
Sorenya, para pemburu mulai menyiapkan perlengkapan. Ranggon segera dipasang oleh tiga orang kru mereka. Sedangkan para pemburu memeriksa kesiapan senjata. Tapi sebelum mereka masuk ke hutan, Pak Ahmad memberikan petuah peting kepada para hunter.
“Kalian boleh menembak celeng (babi hutan) sepuasnya di sini. Tapi saya pesan, di sini ada satu babi hutan yang tidak boleh ditembak. Babi hutan berwarna putih. Dia biasanya keluar dari arah pekuburan tepi hutan ini. Ingat, pesan saya ini,” kata Kendrariadi menirukan ucapan sesepuh tadi.
Para pemburu pun ma’fum dengan petuah penting itu. Dan, mereka mulai menyusuri jalan utama perkampungan menuju arah hutan. Hari mulai gelap begitu jip yang mereka tumpangi itu sampai di jalan utama masuk hutan. Derit suara binatang dari balik semak-semak terdengar saling bersautan. Nyamuk hutan pun mulai menyerang.
Peluru Terpental
Jarum jam tangan mulai menunjuk angka 12, malam. Tapi tak ada satu ekor pun binatang buruan yang mereka temui. “Saya juga heran, sampai menjelang pagi tak ada satu pun babi hutan yang kami temui. Padahal, pada perburuan berikutnya di sana banyak sekali yang kami dapat,” ujar Kendrariadi.
Karena fajar mulai menyingsing, para pemburu memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Ahmad. Belum lama jip melaju dari pintu keluar hutan, tiba-tiba kru yang membawa lampu sorot memberikan isyarat agar sopir menghentikan jip. “Ternyata tepat di depan kami ada seekor babi hutan berwarna putih. Cukup besar,” kata pria bertubuh tinggi besar ini.
Max Sidharta dan Herment Doepke yang duduk di atas jip segera mengarahkan senapannya ke hewan itu. Tapi aneh, berkali-kali pelatuk ditarik peluru tak mau meledak. Max mengira kalau di chamber senapannya belum ada peluru, dan ia segera mengisinya.
Tapi apa yang terjadi? Peluru tersebut mental keluar dan jatuh. Ternyata di chamber senapan sebenarnya sudah terisi peluru, tapi tetap saja tak bisa ditembakkan. Suasana tegang pun menyelimuti seluruh hunter di pagi buta itu. “Bagaimana enggak tegang, semalaman tak dapat hewan buruan, eh begitu ada di depan mata senjata macet,” ujarnya.
Para pemburu segera melanjutkan perjalanan begitu sang babi menyelinap ke semak-semak dan hilang. Sesaat kemudian, mereka baru ingat akan pesan Pak Ahmad. Rupanya mereka tidak sadar kalau lokasi tersebut adalah pekuburan. Dan begitu sampai di rumah Pak Ahmad, senjata normal kembali dan bisa dipakai. (A. Kholis)
Leave a Reply